KopDar di Pondok Ningsih
23 March 2014 at 17:10
Menyenangkan
kemarin "kopi darat" (KopDar) bersama dua teman Face Book, pula
berkenalan dengan beberapa orang yang hadir di salah satu tempat
pemukiman Nieuwegein dekat kota Utrecht, juga ada satu orang yang hadir
berasal dari Vietnam.
ehm..suasana ramah tamah sesama warga
perantauan kali ini bersifat "kekeluargaan", buatku hal unik karena
selain acara untuk pembacaan puisi oleh sang penyair cyber Heri Latief,
ada diskusi tentang pemilu caleg&capres untuk Indonesia Baru 2014,
dan membahas seputar peristiwa sejarah Tragedi Kemanusiaan 1965/66, pula
dengan diselingi hidangan jajanan, menu makanan yg eunak&nikmat.
Biasanya,
ada kesan2 tersendiri yang kita alami bila hadir dalam pertemuan ramah
tamah antar sesama di perantauan, atau mungkin bisa pula menjadi suatu
hal yang biasa-biasa saja bagi kebanyakan orang di perantauan. Maka tak
heran bila ada seseorang bermukim di perantauan, yang selain punya
partner hidup, pula memiliki teman akrab atau lingkungan teman-teman
akrab. Lantaran menjalin pertemanan atau keakraban itu mengasyikan dan
bisa menjadi hiburan menyenangkan bila punya teman atau sahabat yang
bisa dipercaya. Lalu menjadi teman curhat atau bahkan sebagai teman yang
bisa ada saling tolong menolong antar sesama perantau. Hal ini
mengingat kehidupan rutinitas, berkeluarga dan kontak sosial itu sudah
menjadi hakekat kebutuhan manusia dalam hidupnya di perantauan. Dan,
tentunya pilihan setiap orang sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan
kepentingan selera masing-masing. Orang Belanda menyebutnya "soort zoekt
soort". Kebutuhan kontak sosial sejenis "soort zoekt soort" itu memang
sudah menjadi tradisi budaya hidup bermasyarakat di Belanda, yang
prinsip individualisme sudah menjadi acuan dalam kehidupannya.
Aku
sebagai salah satu perantau, yang bermukim di Amsterdam selama hampir
32 tahun, tentunya sudah terbiasa hidup di kota besar dengan langgam
budaya kehidupan individualisme. Sejak abad 15 Amsterdam adalah ibukota
Nederland, yang memiliki keunikan tersendiri dalam mewarnai kehidupan
perkotaan di Belanda. Juga, Amsterdam dikenal sebagai kota pemukiman
bangsa asing dari daratan Europa maupun non-Europa. Sejak tahun 2012
kota Amsterdam memiliki jumlah penduduk sebanyak 790.044 orang, dengan
jumlah warga asingnya sampai 50,5% dari 117 suku bangsa warga dunia.
Kembali
ke suasana ramah tamah di rumah teman facebook di Nieuwegein. Buatku
mereka yang hadir itu, selain dua teman yang kukenal lewat facebook,
adalah wajah-wajah baru yang sebelumnya tak pernah kukenal. Dari
beberapa wajah baru yang hadir itu, ada dua orang yang tinggalnya tidak
jauh dari rumah si yang punya hajat. Salah satu dari tetangganya itu,
kira-kira berusia diatas 60 tahun, yang ternyata memberi kesan
tersendiri buatku. Entah kenapa dan apa alasannya aku terkesan dengan
beliau yang hadir diantara teman-teman usia antara 35 - 55 tahun.
Pertemuan
ramah-tamah diawali dengan pembacaan puisi oleh Heri Latief, kemudian
ngobrol soal keadaan di Indonesia, membahas pemilu untuk Indonesia Baru
2014 dan juga berdiskusi mengenai sejarah Tragedi Kemanusiaan 1965/66.
Suasana ramah-tamah semakin menjadi akrab antar sesama yang hadir, dalam
keakraban obrolanyapun menyiratkan kehangatan, yang kemudian terbersit
keinginan tauku pada ibu yang berusia diatas 60an itu. Lantas ku tanya
ke beliau kapan beliau meninggalkan tanah air. Lalu, jawabnya: "sejak
tahun 1965". Mendengar jawaban tersebut tentunya membuat aku jadi
tambah penasaran serta ingin tau kenapa beliau meninggalkan tanah air
tahun 1965? kemudian jawabnya: "saya menikah dengan suami, yang tahun
1963 kembali ke Indonesia dari Suriname, kemudian bulan april 1965
saya&suami pergi merantau, dan bermukim di Suriname sampai tahun
1975. Tanyaku lagi: "Bukankah suriname Merdeka tahun 1975?", lalu
jawabnya: "ya, Suriname Merdeka tahun 1975, lantas kami hijrah ke
Belanda".
Begitulah sekelumit pengalamanku berkunjung ke salah
satu teman facebook di pondok Ningsih - Nieuwegein. Merupakan pertemuan
awal menyambut musim semi yang menyenangkan, memberi kesan tersendiri
karena bertemu dan berkenalan dengan sesama warga perantauan di Belanda.
Terimakasih Ningsih atas kebaikan hatimu, kesediaanmu menyediakan
tempat dan makanan yang sedaaap dan nikmaat. Juga, mengucapkan
terimakasih buat Regina atas cendolnya yang eunaak..
MiRa, Amsterdam, 23 Maret 2014