Tiada Daya Merindukanmu
: Untuk kawanku ORTU
jika kupejamkan mataku, seakan kau hadir disini
kau menatapku, lalu tersenyum dan menyapaku
katamu: "semuanya baik, walau waktu berhenti"
kehadiranmu, membuatku tenang dan merasa nyaman
kau telah meyakinkanku, berani mengutarakan yang diinginkan
Ketika kau ada, aku punya kawan
sejak awal kau selalu ada, dan siap hadir tanpa pamrih
setelah kepergianmu, tak seorangpun yang kukenal
karena tak seorang pun sepertimu, yang tau tentang diriku
sejenak mata terpejam, bermimpi sebuah keinginan
untuk kembali ke saat ini, tanpa kehadiran?
MiRa - Amsterdam, 17 Mei 2014
Saturday, May 17, 2014
Tuesday, May 13, 2014
Kebenaran untuk Kemanusiaan
Air di parit mengalir
ke sungai lalu ke laut
namun, nilai nominasi
pada musim paceklik
kering kerontang, tercekik
lalu, seperti apa kemiskinan itu
dan, apakah perampasan kekayaan
yang kau miliki atas nama kebesaran Tuhan
Aku mempertanyakan
dimana kebenaran
dari kebohongan, yang
kau nyatakan benar
Dan, tetap mempertanyakan
mengapa masih terus terjadi
yang besar bertambah besar
yang kecil menjadi lebih kecil
Jika pena tak lagi menuliskan
cerita yang ada dalam pikiran
maka tersirat kata tak bermakna
Dalam bait puisi yang disuarakan
tergerus pada alur kisah disonansi
maka tak menyentuh hatinurani
Ada susunan kata-kata usang
yang tak seorangpun menghiraukan
walau puisi kebenaran untuk kemanusiaan
Aku mempertanyakan
akan mengarah kemana
susunan rangkaian kata-kata
yang dinyatakannya, mengapa
terhenti membisu di keheningan
Masih mencekam di kuburan massal
dan, aku tetap mempertanyakannya
dimanakah kebenaran yang benar
Ada kasak-kusuk kemunafikan manusia
yang selaras dengan kehidupan hipokrisi
cepat atau lambat kejahatan akan terungkap
MiRa - Amsterdam, 13 Mei 2014
ke sungai lalu ke laut
namun, nilai nominasi
pada musim paceklik
kering kerontang, tercekik
lalu, seperti apa kemiskinan itu
dan, apakah perampasan kekayaan
yang kau miliki atas nama kebesaran Tuhan
Aku mempertanyakan
dimana kebenaran
dari kebohongan, yang
kau nyatakan benar
Dan, tetap mempertanyakan
mengapa masih terus terjadi
yang besar bertambah besar
yang kecil menjadi lebih kecil
Jika pena tak lagi menuliskan
cerita yang ada dalam pikiran
maka tersirat kata tak bermakna
Dalam bait puisi yang disuarakan
tergerus pada alur kisah disonansi
maka tak menyentuh hatinurani
Ada susunan kata-kata usang
yang tak seorangpun menghiraukan
walau puisi kebenaran untuk kemanusiaan
Aku mempertanyakan
akan mengarah kemana
susunan rangkaian kata-kata
yang dinyatakannya, mengapa
terhenti membisu di keheningan
Masih mencekam di kuburan massal
dan, aku tetap mempertanyakannya
dimanakah kebenaran yang benar
Ada kasak-kusuk kemunafikan manusia
yang selaras dengan kehidupan hipokrisi
cepat atau lambat kejahatan akan terungkap
MiRa - Amsterdam, 13 Mei 2014
Monday, May 12, 2014
Acara Pembacaan Puisi di Rumah Mawie Ananda Jonie
Dalam rangka merayakan Ulang Tahun penyair Mawie Ananta Jonie ke 74
tahun di kota Almere diadakan acara hari Pembacaan Puisi di rumah Pak
Mawie. Acara yang diadakan pada hari sabtu, 10 Mei 2014 itu, dimaksud
pula untuk memperingati 50 tahun Pak Mawie di Luar negeri sebagai
penyair eksil Indonesia di Belanda
Pak Mawie lahir pada tanggal 5 Mei 1940 di Teluk Bayur, Padang, Sumatra Barat, Indonesia. Sejak tahun 1990 beliau bersama istri dan dua putranya bermukim di kota Almere, yang kemudian pak Mawie bekerja di Biro Sport dan Rekreasi. Pada usia 65 tahun beliau mendapat pensiun pegawai negeri di Belanda.
Acara Pembacaan Puisi yang dihadiri lebih dari 20 orang itu, diadakan oleh Stichting Perhimpunan Dokumentasi Indonesia (PERDOI) dan Yayasan Sejarah dan Budaya (YSBI). Acara tersebut di awali dengan kata pengantar oleh ketua YSBI, bernama K. Soelardjo, kemudian Sarmadji (Perdoi) membacakan bagian dari karya tulisan buku Mawie Ananta Jonie, berjudul: “Anak Minang itu ke Peking”.
Pertama, pembacaan puisi oleh mantan Dosen Sastra Rusia dari Universitas Leiden Agus Salim, berjudul “Museum Perang”, “Bukit Tinggi” dan “Medan”. Kemudian disusul oleh, penyair Heri Latief dengan 3 karya puisinya “Budak Melayu”, “Balada sepiring nasi tempe” dan “Sepuluh tahun reformasi Basi”. Dini Setyowati sebagai korban peristiwa Tragedi Nasional 1965/66 generasi ke dua trurut membacakan karya puisinya berjudul “Wisma Kebun Nanas” dan “Burung Rajawali”.
Sementara hamparan angin menderu yang mengiringi hujan rintik di plataran rumah Mawie Ananta Jonie, tak mengurangi rasa kebersamaan antar sesama yang hadir. Bahkan suasana acara di rumah Pak Mawie menjadi lebih hangat dan ceria ketika penulis Asahan Aidit membacakan puisi satirenya berjudul “Begitu Banyak Yang sudah Berlalu”. Pula, memberi inspirasi pencerahan bagi yang hadir saat penulis, penyair dan pendiri Sanggar Bumi Tarung Koeslan Budiman membacakan karya puisi Li Tai Po, berjudul “Di bawah Terang bulan Minum Anggur sendirian”. Setelah itu Ibu Melia membacakan karya puisi Mawie Ananta Jonie yang kemudian disertai penjelasan oleh Lily, isteri saudara Mawie.
Saya pun turut serta membacakan puisi karya penyair Lekra Sabar Anantaguna, berjudul “Kecapi Terali Besi” dan “Di Depan Senayan”. Dan, akhir dari acara pembacaan puisi, penyair Chalik Hamid membacakan karya puisinya penyair muda Banyu Bening, berjudul “Romansa di Kebun Tebu” dan karya puisinya sendiri, berjudul “Kuburan Kami ada Dimana-mana” .
Sebagai penutupan acara pembacaan puisi penyair Mawie Ananta Jonie menyatakan kebahagiannya dan terharu serta mengucapkan terimakasih atas kesediaan kawan-kawannya yang hadir untuk berkumpul bersama merayakan Ulang Tahunnya yang ke 74 tahun.
MiRa - Amsterdam, 11 Mei 2014

Chalik Hamid (membaca puisi),Asahan Aidit, Roeslan Budiman
Pak Mawie lahir pada tanggal 5 Mei 1940 di Teluk Bayur, Padang, Sumatra Barat, Indonesia. Sejak tahun 1990 beliau bersama istri dan dua putranya bermukim di kota Almere, yang kemudian pak Mawie bekerja di Biro Sport dan Rekreasi. Pada usia 65 tahun beliau mendapat pensiun pegawai negeri di Belanda.
Acara Pembacaan Puisi yang dihadiri lebih dari 20 orang itu, diadakan oleh Stichting Perhimpunan Dokumentasi Indonesia (PERDOI) dan Yayasan Sejarah dan Budaya (YSBI). Acara tersebut di awali dengan kata pengantar oleh ketua YSBI, bernama K. Soelardjo, kemudian Sarmadji (Perdoi) membacakan bagian dari karya tulisan buku Mawie Ananta Jonie, berjudul: “Anak Minang itu ke Peking”.
Pertama, pembacaan puisi oleh mantan Dosen Sastra Rusia dari Universitas Leiden Agus Salim, berjudul “Museum Perang”, “Bukit Tinggi” dan “Medan”. Kemudian disusul oleh, penyair Heri Latief dengan 3 karya puisinya “Budak Melayu”, “Balada sepiring nasi tempe” dan “Sepuluh tahun reformasi Basi”. Dini Setyowati sebagai korban peristiwa Tragedi Nasional 1965/66 generasi ke dua trurut membacakan karya puisinya berjudul “Wisma Kebun Nanas” dan “Burung Rajawali”.
Sementara hamparan angin menderu yang mengiringi hujan rintik di plataran rumah Mawie Ananta Jonie, tak mengurangi rasa kebersamaan antar sesama yang hadir. Bahkan suasana acara di rumah Pak Mawie menjadi lebih hangat dan ceria ketika penulis Asahan Aidit membacakan puisi satirenya berjudul “Begitu Banyak Yang sudah Berlalu”. Pula, memberi inspirasi pencerahan bagi yang hadir saat penulis, penyair dan pendiri Sanggar Bumi Tarung Koeslan Budiman membacakan karya puisi Li Tai Po, berjudul “Di bawah Terang bulan Minum Anggur sendirian”. Setelah itu Ibu Melia membacakan karya puisi Mawie Ananta Jonie yang kemudian disertai penjelasan oleh Lily, isteri saudara Mawie.
Saya pun turut serta membacakan puisi karya penyair Lekra Sabar Anantaguna, berjudul “Kecapi Terali Besi” dan “Di Depan Senayan”. Dan, akhir dari acara pembacaan puisi, penyair Chalik Hamid membacakan karya puisinya penyair muda Banyu Bening, berjudul “Romansa di Kebun Tebu” dan karya puisinya sendiri, berjudul “Kuburan Kami ada Dimana-mana” .
Sebagai penutupan acara pembacaan puisi penyair Mawie Ananta Jonie menyatakan kebahagiannya dan terharu serta mengucapkan terimakasih atas kesediaan kawan-kawannya yang hadir untuk berkumpul bersama merayakan Ulang Tahunnya yang ke 74 tahun.
MiRa - Amsterdam, 11 Mei 2014

foto bersama di pelataran rumah Mawie Ananta Jonie

Chalik Hamid (membaca puisi),Asahan Aidit, Roeslan Budiman
Monday, May 5, 2014
Pejuang Indonesia Melawan Fasisme Jerman di Belanda
Tanggal 5 Mei adalah hari peringatan Pembebasan Rakyat Belanda dari pendudukan rezim Fasis Hitler. 5 tahun lamanya (1940-1945) rakyat Belanda mengalami penderitaan, kesengsaraan dan kelaparan sehingga mengakibatkan banyak korban kematian. Bahkan mereka menyebutnya sebagai masa perang melawan fasisme Jerman, karena hampir semua lapisan masyarakat, termasuk warga Indonesia di Belanda, ketika itu turut berjuang melawan pendudukan rezim fasis Hitler.
Kekuasaan rezim Fasis Hitler di Jerman sejak tahun 1933 sampai 1945 dikenal sangat kejam dan sadis terhadap suku etnis Yahudi maupun terhadap lawan-lawan politiknya di Europa. Dan, tak terkecuali di Belanda telah memakan korban kematian terbesar di sepanjang abad 20, walau banyak pula yang menunjukan keberpihakannya pada kekuasaan pemerintah rezim Fasis Hitler. Total korban kematian di Belanda berjumlah 102 000 orang dari jumlah penduduknya sekitar 9 juta orang.
Antara tahun 1940 sampai 1945 rezim Fasis Jerman menduduki Belanda. Pada masa itu, banyak pula warga Indonesia turut serta dalam perjuangannya melawan Fasisme Jerman di Belanda, a.l. dari kalangan akademisi, mahasiswa, wartawan, kaum pekerja di pabrik dan awak kapal, bahkan kaum pekerja perempuan rumah tangga pun turut serta andil dalam perjuangannya, yang terhimpun dalam berbagai organisasi, seperti Perhimpunan Indonesia (PI), "Roepi" dan "Soerapati" dibawah pimpinan Irawan Soejono. Kegiatan aktivisme kelompok orang-orang Indonesia ada di berbagai kota di Belanda, dan terpusat di Amsterdam dan Leiden.
Jalan Irawan Soejono - OSDORP, Amsterdam Oud Zuid Nama jalan sebagai penghargaan tanda jasa beliau aktif berjuang melawan pendudukan rejim Fasis Hitler di Belanda '40 - '45 |
Adapun orang-orang Indonesia yang mengambil bagian dalam gerakan bawah tanah (perjuangan fisik ) dilakukan bersama para pejuang Belanda melawan fasisme, seperti membantu dalam memberi fasilitas persembunyian atau perlindungan di rumahnya, melakukan sabotase dan kerja spionase, membuat pemalsuan dokumen, melakukan serangan2 terhadap lembaga distribusi melalui cara perjuangan fisik bawah tanah, dll
Pusat latihan militer di Leiden diadakan di ruang bawah tanah sebuah pabrik wol. Pos pasukan komando dan para editor media 'De Bevrijding' (Pembebasan) bertempat di rumah Nazir Datoek Pamontjak dan Hadiono Koesoemo Oetoyo, yang disebut sebagai pusat operasi bawah tanah. Diantaranya, perlawanan di Rotterdam di bawah komando T. Jusuf Muda Dalam, didapat kiriman persenjataannya dari Leiden, misalnya kebutuhan, seperti senapan mesin, pistol, granat dan amunisi . Sepeda adalah sarana transportasi dan pengangkutan persenjataan satu-satunya, dengan menghindari celah rute pengontrolan ketat dari Pos-pos Kontrol pemeriksaan militer Jerman.
100 Orang Indonesia meninggal
Walau perlawanan warga Indonesia ketika itu dilakukan sangat hati-hati, namun ada pula orang-orang yang tidak beruntung . Mereka tertangkap, disiksa dan dimasukkan ke dalam penjara atau bahkan diangkut ke kamp konsentrasi . Dan mereka tidak pernah kembali ! Begitu pula bernasib buruk bagi orang2 Indonesia yang ketika itu tidak turut serta dalam perjuangan melawan militer fasisme, telah pula menjadi korban tawanan perang . Orang Indonesia Biasa - non - aktivis yang tertangkap kemudian dijebloskan dalam penjara di Vught , Scheveningen, Amsterdam dll. Bahkan, tak sedikit pula yang mati, karena mengalami kelaparan, penyakit TBC atau sebagai akibat penyiksaan fisik karena mereka tidak memberikan informasi yang diinginkan oleh kaum fasisten. Sekitar 100 orang Indonesia hilang atau meninggal dunia selama periode pendudukan fasisme Jerman di Belanda. Pada masa itu jumlah penduduk warga Indonesia di Belanda kurang -lebih 800 orang.
Pada paska pendudukan rezim Fasisme Jerman, Pemerintah Belanda telah memberi penghargaan dan tanda jasa kepahlawanan ke orang-orang Indonesia yang turut berjuang melawan Fasisme, dan beberapa orang yang berjasa itu telah pula mendapat kepercayaan serta dipilih oleh rakyat Belanda untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahan Belanda. Misalnya, Mr R. M. Soejono , ayah dari yang dibunuh bernama Irawan, adalah seorang menteri dalam pemerintahan Belanda di pengasingan - Inggris . R. M. Setiadjit menjadi anggota Dewan Penasihat Agung ilegalitas - Belanda, kemudian juga menjadi anggota DPR - Belanda . Soenito dipilih sebagai anggota Dewan Penasehat Nasional Belanda, Rustam Effendi dipilih menjadi anggota DPR.
Daftar nama pemimpin PI lainnya, yang perlu di ingat dan di kenang atas jasa2nya dalam perjuangan melawan fasisme Jerman: P. Loebis , Sidartawan , Djajeng Pratomo , Moen Soendaroe , Dradjat Doerma Keswara , Poetiray , Kajat , Hamid dan Bima Jodjana . Dan, jangan lupa seorang mahasiswa Irawan Soejono sebagai anggota Pasukan dalam negeri Belanda, yang pada 13 Januari 1945 ditembak di jalan di kota Leiden oleh seorang tentara SS Ia ditembak mati ketika ia sedang memindahkan mesin stensil yang baru selesai mencetak pamflet,.Korban lain yang kita tidak akan dilupakan adalah : Makatita , Latuparisa , Mas Soemitro , Ds Max Wignyosoehardjo , dan Annie Manusama.
Wawancara Herman Keppy dengan Iwan Faiman
Kiri bawah: Slamet Faiman (sebelah kanannya: M.Hatta)
Raden Slamet Faiman ( Karang Anjer, 3 September 1909 - Amsterdam,10 September 1985) adalah seorang nasionalis yang aktip di Perhimpunan Indonesia dan aktivis komunis. Pada masa perang ia tinggal di Van Eeghenlaan 4 di Amsterdam . Anaknya Iwan mengatakan : " Sejak sebelum masa perang beliau telah aktip dalam kelompok organisasi Indonesia melawan fasisme. saya sendiri memiliki laporan dari Yayasan '40 - '45, dan dalam data tersebut menunjukkan bahwa ayah saya membantu orang2 Yahudi untuk disembunyikan di tempat-tempat persembunyian, juga membantu dalam pembuatan pemalsuan dokumen identitas. Beliaupun pernah pula membantu Irawan Soejono untuk bersembunyi di tempat tinggalnya pada sebelum ia ditembak oleh Jerman. Selain itu ayah saya juga membantu istri orang Indonesia bernama L. Notohadinegoro - Brilleman Ada juga pernyataan dari seorang penulis terkenal bernama Bert Schierbeek, yang , menyatakan bahwa Dick ter Beek memiliki foto ayah saya yang sedang dipindahkan oleh militer fasis."
Klarifikasi tertulis dari Raden Mas Djajeng Pratomo
Djajeng en Stennie Pratomo
Raden Mas Djajeng Pratomo (Bagan Siapiapi, 22 februari 1914):
"Pada bulan Juni 1941, Sicherheitsdienst (SD) dari kaum nazi mengadakan penggeledahan di berbagai tempat tinggal mahasiswa Indonesia di Leiden. Mereka mencari empat anggota pimpinan dari grup perlawanan Indonesia 'Perhimpunan Indonesia'. Dua di antara mereka tertangkap, yaitu R.M. Sidartawan dan P. Lubis, sedang yang lain dapat meloloskan diri.
Pagi-pagi hari tanggal 18 Januari 1943 SD mengadakan penggeledahan kembali di tempat tinggal orang-orang Indonesia di Den Haag. Mereka menangkap dua orang mahasiswa dan dua orang buruh: R.M. Sundaru, R.M. Djajeng Pratomo, Kajat, dan Hamid. Empat orang tawanan ini diseret dari kamp konsentrasi yang satu ke kamp yang lain: Schoorl, Amersfoort, Vught, Neuengamme, Buchenwald, Oranienburg-Saxenhausen, Dachau. Dua orang dari mereka tewas karena siksasn dan penderitaan di kamp-kamp tsb. Sidartawan di Dachau dan Mun Sundaru di Neuengamme."
Sumber:
http://www.ravagedigitaal.org/1992/115/Indonesische_115.htm
http://www.hermankeppy.com/index.php?id=nederlands-indie-tegen-duits-nederland
MiRa - Amsterdam, 05 Mei 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)