Tuesday, February 14, 2012

[Updating] Antologi Puisi Untuk Bima Membara

Kepada yth para Penyair antologi puisi Bima Membara yang baik,

Salam Sastra Pembebasan!

Pertama-tama, kami mengucapkan terimakasih atas simpati, dukungan dan sumbangan karya puisi untuk Bima Membara. Sumbangan karya - karya puisi itu sebagai ekspresi kepedulian terhadap Peristiwa Tragedi Kemanusiaan, yang terjadi di Pelabuhan Sape – Bima pada tanggal 24 desember 2011.

Karena banyaknya sumbangan puisi yang dikirim oleh para penulis, sehingga tak bisa diterbitkan semuanya karena keterbatasan biaya, tapi kami bermaksud menerbitkan buku antologi Bima Membara yang kedua buat karya para penyair yang belum termuat puisinya.

Rencana launching buku Bima Membara akan diadakan di Jakarta dalam waktu dekat yang akan diinformasikan lebih lanjut kepada para penulis, dan dalam acara tersebut para penulis akan diberikan 1 eksemplar buku.

Bagi para pecinta puisi bisa membeli bukunya, langsung menghubungi penerbit Halaman Moeka, melalui Email: halamanmoeka@gmail.com
atau silahkan click: http://halamanmoeka.blogspot.com/2012/02/kumpulan-puisi-bima-membara-halaman.html

Mohon maaf jika ada kekurangan kami. Semoga usaha suka rela kita bersama ini akan membangkitkan solidaritas terhadap perjuangan rakyat di Bima.

salam

------------------------------------------------------------------------------------------------

Buku:
BIMA MEMBARA
Sebuah Kumpulan Puisi untuk Bima

- tebal 80 halaman
- ukuran 13 x 20 cm
- kertas HVS 70 gr B/W
- cover artcartoon 230 gr, laminating dof

Cover buku:


BIMA MEMBARA
Sebuah Kumpulan Puisi untuk Bima


Koordinator:
Leonowens SP

Editor:
Heri Latief
Mira Kusuma
Arif Hidayat
Jumari HS

Layouter:
Catur S.

Desain Cover:
Irman Permana

Diterbitkan Oleh:
Halaman Moeka Publishing
Jakarta, Februari 2012

ISBN: 978-602-9126-13-6

Halaman Moeka Publishing
Jl. Manggis IV, No. 2 RT/RW 07/04,
Tanjung Duren Selatan,
Grogol Petamburan, Jakarta Barat
http://halamanmoeka.blogspot.com
Telp 021 46224131


Daftar Isi — ­­ ix

Menimba Air Mata di Bima Oleh Dinullah Rayes — 1
­­
Suara Oleh Shaka Arundaya — 3

Larik Samsara Oleh Selly Hartanti — 4

Negara Sakit Dipimpin Para Penjahat Tukang Kibul Oleh S Stanley Sumampouw — 5

Untuk Bima Oleh Eka RS — 6
­­
Ketika Timah Panas dan Sepatu Lars Bicara ­­Oleh Arrie Boediman La Ede­­ — 8

Kami Masih Ada Oleh Kit Rose —­­ 13

Untuk Petani Bima Oleh Habe Arifin — 15
­­
Tragedi Penembakan di Sape Oleh Edy Priyatna — 16
­­
Tanah Ini Sudah Meratap Oleh Kelana — 19
­­
Robohkan Angkuhmu ­­Oleh Donny Anggoro —­­ 22

Negeriku di Serambi Bima Oleh Zeta Rosa — 24
­­
Cukup Sudah! Oleh Bayu Gautama — 26
­­
Kota yang Tidur Oleh Dwi Rahariyoso — 28
­­
Bumiku Menangis Oleh Selsa — 30
­­
Pejuang-Pejuang Bima Oleh Bambang Prayitno — 32
­­
Pagi di Pelabuhan Sape Oleh Agus Wepe — ­­ 34

Maka Ceritapun Berubah Arah Oleh Wasta Tama — 35
­­
Bima Mutiara Nusantara Oleh Nurdiana — 37
­­
Cerita Rumput Oleh Edy Firmansyah — 40
­­
Harga Petani Oleh Ario Sasongko — 42
­­
Tanah Darah ­­ Oleh Alex R. Nainggolan — 44

Bima yang Menggugat Oleh Jaksen Saragih — ­­ 46

Ingin Aku Bedamai Denganmu Oleh Thomas Budi Santoso — 49
­­
Rezim Patuk Ular Oleh Saiful Hadjar — 52
­­
(Haibun) Malam Kudus Berdarah Oleh MiRa — 54
­­
Bima dan Kuku-Kuku Itu ­­Oleh Dimas Arika Mihardja — 57

Bima ­­Oleh Jumari HS — 59

Emas dan Tanah Air ­­Oleh Asahan — 61

Emas Berdarah Rakyat Oleh Heri Latief — 63

Bima Berkabung Oleh Selendang Sulaiman — 64
­­
Di Bima, Darah Bersimbah Oleh Darmanto Nugroho — 67


KATA MUTIARA

"Memang, kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan pemodal menyebabkan aparatus negara dapat mempersepsikan masyarakat yang tidak sepaham menjadi musuh bersama yang harus dilawan. Karenanya saat ini, kita tidak bisa lagi membedakan mana penjajah mana penguasa.”

(Leonowens SP – Sastrawan Dunia)


Kata Pengantar

“Polisi! Gunakan wibawamu sebagai senjata, jangan gunakan senjatamu sebagai wibawa.”

Cukup sulit menemukan perilaku menempatkan wibawa sebagai senjata bagi aparatus kepolisian jika membuka lembaran-lembaran bentrokan masyarakat dengan kepolisian akhir-akhir ini.

Senin, (19/12/2011) ribuan masyarakat Kecamatan Lambu Kabupaten Bima Provinsi Nusatenggara Barat (NTB) melakukan long march dengan berjalan kaki menuju pelabuhan Sape. Aparat keamanan berusaha untuk menghalau pendemo namun gagal dilakukan disebabkan jumlah massa saat itu mencapai ribuan orang tidak sebanding dengan jumlah aparat kepolisian.

Hari itulah titik awal masyarakat melakukan gerakan massif guna mendapat perhatian pemangku kebijakan terkait polemik Keputusan Bupati Bima Nomor: 188.45/357/004/2010 tanggal 28 April 2010 tentang penyesuaian Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi kepada PT. Sumber Mineral Nusantara (PTSMN).

Bibit penolakan sebenarnya sudah terjadi sejak lama, bahkan pada hari Kamis tanggal 10 Februari 2011 masyarakat Kecamatan Lambu Bima juga bentrok dengan aparat keamanan setempat yang mengakibatkan perusakan dan pembakaran beberapa unit kendaraan milik Pemerintah Daerah Bima.

Penolakan masyarakat Kecamatan Lambu ini bermula tatkala PTSMN berniat melakukan eksplorasi pertambangan diwilayah Lambu. Dalam hal ini masyarakat melihat, jika pertambangan dilakukan diwilayah tersebut maka otomatis akan menganggu sumber mata air mereka dan masyarakat telah mendapat informasi DAM Diwu Moro yang merupakan satu-satunya penampung air diwilayah tersebut akan ditutup.

Adanya DAM Diwu Moro tersebut merupakan penampungan air bagi petani bawang merah dan pada musim kemarau, Dari DAM air tersebut dialiri lewat sungai-sungai untuk dialiri langsung pada lahan pertanian milik warga. Informasi akan ditutupnya Diwu Moro yang merupakan DAM terluas di Indonesia setelah “DAM Pela Parado” Kecamatan Parado Kabupaten Bima terluas se-ASEAN tentunya Kecamatan Lambu dan sekitarnya akan mengalami bencana banjir bandang yang tidak terkirakan akibatnya. Dan merekapun sudah memperkirakan akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan air guna mengairi tanaman bawang yang menjadi tanaman utama bagi pertanian setempat.

Kerusuhan awal Februari 2011 ternyata tidak membuat pemangku kebijakan setempat bergeming, permintaan masyarakat untuk menghentikan ijin operasional PTSMN tetap tidak dipenuhi oleh pemangku kebijakan meskipun masyarakat setempat tetap mencoba melakukan komunikasi dengan pihak pemangku kebijakan.

Rasa frustasi karena keinginan masyarakat tidak terpenuhi akhirnya diputuskan untuk melakukan aksi yang lebih besar dan berdampak luas bagi masyarakat lainnya. Diputuskanlah melakukan blockade pelabuhan Sape Bima di Kecamatan Sape yang sebenarnya berbeda kecamatan dengan Kecamatan Lambu.

Sejak Senin (19/12/2011) ribuan masyarakat memblokade pelabuhan penghubung antara Pulau Sumbawa dengan Provinsi Nusatenggara Timur (NTT). Berhari-hari negoisasi telah diupayakan agar masyarakat menghentikan aksi blokade pelabuhan, namun kesepakatan belum tercapai. “Masyarakat tetap menuntut cabut ijin operasional PTSMN untuk selamanya.”

Negoisasi gagal inilah yang membuat aparatus keplisian dari Polda NTB bertekat untuk membersihkan pelabuhan dari masyarakat yang masih bertahan. Jumlah aparat keamanan yang diterjunkan pada Sabtu (24/12/2011) kelabu tersebut tidak sebanding dengan jumlah massa yang diperkirakan tinggal 300 orang.

Tak pelak, bentrokan pun terjadi. Ratusan massa yang masih bertahan porak-poranda akibat tembakan aparat keamanan. Setidaknya data terakhir yang dilansir oleh Komnas HAM dan DPD RI sebanyak 3 orang tewas dan lebih dari 30 orang mengalami luka-luka serius.

Hasil investigasi Komnas HAM pun menemukan adanya pelanggaran atas prosedur penanganan unjuk rasa tersebut.

Sontak, Peristiwa Sabtu kelabu di pelabuhan Sape Bima ini mendapat sorotan dari berbagai pihak atas sikap penanganan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh aparatus Kepolisian di NTB. Berbagai aksi dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat di seluruh Indonesia, mengecam keras atas tindakan aparatus kepolisian yang menghilangkan nyawa masyarakat dengan kekerasan.

Peristiwa Bima, ternyata tidak membuat nyali aparatus Kepolisian RI untuk tetap mengedepankan kekerasan dalam mengamankan pengunjuk rasa. Pasca bentrokan bima, ternyata korban-korban lain pun berjatuhan ditangan aparat kepolisian. Elemen masyarakat dan mahasiswa yang melakukan aksi kecaman terhadap peristiwa Bima ternyata juga manjadi korban saat mereka berhadapan dengan aparatus kepolisian disaat aksi lapangan. Puluhan orang terlibat bentrok dengan aparat kepolisian di beberapa kota dari Makasar hingga Jakarta.

Rasa keperihatinan mendalam terhadap sikap penanganan aksi oleh aparatus Kepolisian terus bergulir dengan berbagai cara dan di banyak tempat. Mahasiswa melampiaskannya dengan aksi dilapangan, politisi dengan cara mengadakan diskusi dan konfrensi pers, dan kami coba menghimpun Penyair Nusantara dalam sebuah buku puisi yang berjudul “BIMA MEMBARA: Sebuah Kumpulan Puisi untuk Bima”.

Bermula dari komunikasi tidak resmi dengan saudara Leonowens SP, tercetuslah ide untuk menghimpun puisi-puisi yang secara khusus mengenang peristiwa Sabtu kelabu di pelabuhan Sape Bima. Ide ini kemudian mendapat apresiasi dari saudara Heri Latief dan mbak MiRa yang kesehariannya bergelut di Sastra Pembebasan dan saat ini bermukim di Belanda.

Berbagai elemen didunia maya diantaranya dari groups facebook “Kumpulan Fiksi”, “Komunikasi Sastra”, “SASTRA dalam SAJAK” dan komunitas Blog Kompasiana.com serta rekan Jumari HS dari Komite Sastra Dewan Kesenian Kudus juga secara langsung mendukung dengan menyebarkan informasi solidaritas ini, sehingga hanya dalam waktu dua minggu terhimpun puluhan penyair yang menyumbangkan karya puisinya.

Antologi puisi ini merupakan upaya kami dalam menghimpun kegalauan penyair nusantara dalam menyikapi berbagai peristiwa yang melibatkan aparatus Negara terutama Kepolisian RI. Berbagai penanganan masalah yang seharusnya bisa diselesaikan secara damai, justru akhir-akhir ini lebih senang dilakukan menggunakan kekerasan. Padahal nyawa manusia tidak akan bisa dikembalikan lagi jika peluru merenggut hak hidup masyarakat kita.

Kami berharap, buku antologi puisi ini dapat menjadi rekaman sejarah atas sikap kebrutalan aparatus kepolisian yang sudah tentu pada tahun-tahun mendatang tidak akan mengulangi lagi sejarah yang sama.

Sudah sepantasnya jika para penyair yang terlibat dalam antologi puisi “BIMA MEMBARA: Sebuah Kumpulan Puisi untuk Bima“ diberikan apresiasi atas karyanya, namun karena keterbatasan yang kami miliki maka apresiasi tersebut baru sebatas ucapan terima kasih.

Rekan-rekan penyair, Dinullah Rayes, Shaka Arundaya, Selly Hartanti, S Stanley Sumampouw, Eka RS, Arrie Boediman La Ede, Kit Rose, Habe Arifin, Edy Priyatna, Kelana, Donny Anggoro, Zeta Rosa, Bayu Gautama, Dwi Rahariyoso, Selsa, Bambang Prayitno, Agus Wepe, Wasta Tama, Nurdiana, Edy Firmansyah, Ario Sasongko, Alex R. Nainggolan, Jaksen Saragih, Thomas Budi Santoso, Saiful Hadjar, MiRa, Dimas Arika Mihardja, Jumari HS, Asahan, Heri Latief, Selendang Sulaiman, Darmanto Nugroho telah menoreh sejarah tersendiri untuk berupaya menyadarkan aparatus kepolisian kita agar lebih baik untuk hari-hari mendatang.

Terima kasih, salam hangat.



Jakarta, 13 Januari 2012

Arif Hidayat

(Penggiat LSM anti korupsi kelahiran Sumbawa NTB, pemilik media online www.sumbawanews.com dan majalah Sumbawanews)



Endorsement

Prof. DR. H.M. Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah, Kelahiran Sumbawa)

Tragedi Sape-Bima mengusik hati kita semua, ketika bahasa kekerasan bicara, dan menjadi cara penguasa memperlakukan rakyatnya. Slogan pro-rakyat, pro kerja, hanyalah retorika politik belaka, yang berhenti pada kata-kata, tak pernah menjelma dalam perbuatan nyata. Adalah kelaliman kalau penguasa dikuasai hawa nafsu, adalah kemunafikan kalau ucap dan tindak tak menyatu. Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Peribahasa tempo dulu, sayang tergerus waktu. Jika kebenaran tiba, kebatilan kan sirna.

Drs. H. Harun Alrasyid (Mantan Gubernur NTB dan Saat ini menjadi anggota DPR RI)

"Puisi menjadi alternatif celoteh bagi ide yang tak bisa dipenjara waktu, meski badan terkerangkeng, puisi kan tetap berkicau di tengah tirani dan denting peluru. Buku kumpulan puisi Bima Membara Ini adalah gerhana realitas sekaligus gerhana waktu, lahir dari refleksi sadar para penulis nya, sebagai sikap dan sekaligus kenang atas pristiwa bahwa Bima memang membara."

Fahri Hamzah ( Anggota DPR RI Asal Pulau Sumbawa - NTB

"Saya sudah membaca semua kemarahan, kata-kata dan teks secara keseluruhan seperti mengeluarkan gelombang dan dengung orang-orang yang tidak mau di dengar oleh otoritas politik dan penanam modal...kita perlu membaca kumpulan puisi ini untuk mempertajam nurani bahwa negara ini masih jauh dari baik jika dilihat dari kemampuannya memelihara hak milik dan hak asasi rakyat."

No comments:

Post a Comment