Saturday, September 25, 2010

[Haiku] Tragedi Manusia 1965/1966

Kabut berawan
Jangkrik memekik resah
Duka mencekam

Di tepi kali
Mengalir kebencian
Jiwa tersihir

Rintihan tangis
Suasana kemelut
Titisan peluh

Desa dan kota
Riwayat yang berlawan
Retak berkeping

Gelap gulita
Bunga mawar mengering
Tak rasa cinta

Daya ingatan
Tragedi manusia
Menuntut adil

MiRa - Amsterdam, 24 September 2010

Tuesday, September 21, 2010

[Haiku] Musim Gugur

Tanah membukit
Berkarpet daun kuning
Pohon telanjang

Serasa miris
Angin dingin berhembus
Di tengah malam

Bulan purnama
Menyapa musim gugur
Selamat datang!

MiRa - E. Samsonstraat, 21 September 2010

Sunday, September 19, 2010

[Esai] Jendral Kejam dari Belanda




Pada hari Sabtu nan cerah mentari seakan tak enggan memancarkan sinarnya, saát itu kusempatkan waktu bersepeda melewati daerah Amsterdam Oud Zuid, untuk menuju Vondelpark. Kali ini aku bersepeda menelusuri Apollolaan arah Olympiaplein, yang kemudian melintasi jalan pintas ke  gedung sekolah Lyseum.

Bersepeda di rute jalan Apollolaan terasa lebih adem karena pada sisi kiri-kanan jalan ditumbuhi tanaman pohon-pohon besar dan berdaun rindang . Bila melalui jalan tersebut terkesan gelap dan kusam tapi nyaman rasanya terlindung dari sengatan teriknya matahari di musim panas. Disepanjang jalan Apollolaan itu pula berjejer bangunan rumah mewah model villa dari peninggalan zaman keemasan kolonial Belanda.

Sesampainya aku di sekitar Olympiaplein, tiba-tiba aku dikejutkan oleh semacam bentuk pandangan lain dari biasanya yang tak pernah kutemui sebelumnya. Persis di depan gedung sekolah Lyseum, terlihat ada sebuah patung tinggi semampai sosok wanita Belanda, seperti memakai gaun kebaya Jawa, tercermin ekspresi bangga di raut wajahnya dengan “peran Legislatif” di tangannya. Menurut keterangan seseorang bersama anjingnya, yang kebetulan sedang berada di tempat lokasi yang sama, mengatakan bahwa patung itu disimbolkan sebagai personifikasi kekuasaan pemerintahan Belanda di zaman penjajahan Hindia Belanda.

Patung wanita jangkung setinggi hampir empat setengah meter itu, berdiri pada alas yang disamping kiri dan kanannya terukir gambar yang katanya melambangkan Amsterdam dan Batavia. Ke dua kakinya dengan diapit oleh dua singa, oleh kalangan rakyat yang menghujat pendirian Monumen tersebut sampai saát ini, menyebutnya “Perawan Belanda dengan Anjingnya”.

Dinding dan dasar kolam juga merupakan bagian dari monumen. Di depan patung perempuan jangkung itu ada kolam air besar, yang di simbolkan sebagai pemisahan antara Indonesia dan Belanda. Lokasi monumen seluas 18, 5 meter itu dilatarbelakangi oleh dua dinding yang mengapit patung perempuan itu, dihiasi dengan gambar-gambar plakat ukiran yang menunjukkan lambang kepulauan Indonesia.

Maka, barulah kuketahui serta kumengerti makna dari monumen itu, yang kuanggap penuh dengan peristiwa misteri, dan kurasakan seketika menjadi merinding, tercermin seperti suasana lengang dan hening karena serasa begitu mencekam dan berduka buatku hadir di sekitar monumen tersebut.

Di tempat inilah rupanya yang disebut monumen van Heutsz, Yang menurut cerita sejarahnya sejak tahun 1930, katanya, menjadi bangunan kontroversia. Bahkan selama bertahun-tahun telah sering pula menjadi sasaran tempat protes aksi, bagi penentang dan menghujat peranan sosok komandan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL, Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger) wilayah Aceh, yang dikenal kejam selama periode perang kolonial.

KONTROVESIAL

J.B. van Heutsz (1851 - 1924), dikenal oleh rakyat Belanda sebagai sosok komandan militer. Pada tahun 1873, di usia 22 tahun ia di kirim oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk tujuan penyerangan operasi militer, yang secara kekerasan dengan melakukan pembunuhan massal di Aceh dan sekitar Sumatra Timur.

Dengan kematian Van Heutsz di Swiss tahun 1924, lalu para pengagumnya mengumpulkan dana dalam jumlah besar, selain untuk biaya pemakaman, juga akan dibangun sebuah monumen peringatan van Heutsz di tempat lain tapi di kota yang sama, Amsterdam. Pada tahun 1930 monumen tersebut dibangun dengan mendapat ijin dari pemda Amsterdam, akan tetapi pelaksanaan proyek monumen sudah menimbulkan reaksi pro dan kontra.

Ada pendapat umum menyebutnya tidak pantas untuk dibangun Monumen Peringatan Van Heutsz yang seharusnya bertanggung jawab atas sekitar 70.000 kematian penduduk di Aceh. Bahkan, proses pembangunannya sempat mengalami penundaan waktu sampai 5 tahun, ini disebabkan antara lain oleh aksi pemogokan pekerja yang bekerja pada proyek pembangunan Monumen tersebut.

Ada pula pendapat lain dari yang pro pembangunan monumen tersebut, dengan ditampilkan sebuah plakat, yang pernyataannya dilihat dari gagasan kontemporer tentang masa kolonial. Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah nama monumen. Tujuan ini dinyatakan dapat dilakukan, misalnya, harus menyatakan kelahiran dan kematian Jenderal Van Heutsz dan tindakannya di atas prasasti.

Pematung “Perempuan Jangkung” Frits van Hall (1899-1945), yang pula dikenal seorang Komunis dan pejuang Belanda dimasa pendudukan rejim Fasisme-Hitler, juga dianggap sebagai sosok peran yang menimbulkan reaksi pro dan kontra.

Ia sebagai pemenang bersama arsitek Gijsbert Friedhoff dalam kontes perancang pembuatan monumen van Heutsz, itupun oleh sebagian besar kawan-kawan alumni seperjuangannya zaman pendudukan rejim Fasis-Hitler, dianggap aneh atas keikutsertaan van Hall dalam pembuatan monumen van Heutsz di awal tahun 1930.

Di balik itu semua, keikutsertaan sang pematung van Hall dalam merancang monumen van Heutsz, ternyata dilatar belakangi oleh pengaruh sejarah kehidupan van Hall pribadi yang lahir di Yogyakarta, dan sejak masa kecil sampai usia 10 tahun bermukim di Hindia Belanda. Namun apakah alasan latar belakang sejarah hidup pribadinya bisa meyakinkan keraguan penilaian kawan2 seperjuangannya itu, biarpun ia pernah mengatakan pada koleganya bernama Jan Meefout bahwa plakat ukiran nama “J.B. van Heutsz” di mendatang bisa dihapus, lalu diganti dengan kata-kata “Pembebasan”, atau “Indonesia Merdeka”, sehingga gambar van Heutsz akan memiliki makna pengertian “Pembebasan”.

Tahun 1984 plakat berukir nama “J.B. van Heutsz” tersebut dicuri, dan kemudian ditemukan kembali tanpa ada huruf-huruf nama van Heutsz. Pada tahun yang sama ada pula serangan bom di monumen tersebut, kali ini dilakukan oleh kelompok Koetoh Reh (Nama sebuah kamp ketika tahun 1904 hukuman pidana Belanda dibantai).
Sebelumnya, Pada tanggal 10 Maret 1967 patung singa di sisi kanan rusak akibat serangan bom, yang dilakukan oleh club’s pasifis dari Pemuda Sosialis. Aksi serangan tesebut dimaksudkan untuk menggagalkan pernikahan Putri Beatrix dan Claus von Amsberg.

Buat bangsa kita yang sejak tahun 1945 telah memproklamasikan Merdeka dari Penjajahan Belanda, tak mungkin bisa melupakan catatan riwayat sejarah berdarah peristiwa kejahatan kemanusiaan, yang di pimpin oleh Letnan Jenderal sebagai komandan militer KNIL, bernama J.B. van Heutsz.

Dan, masih banyak lagi peristiwa berdarah lainnya yang tak mungkin bisa disebutkan kejadiannya semasa usia 350 tahun penjajahan Belanda. Ini merupakan pengalaman terpahit bagi saudara setanah air, bagi yang mengalaminya dalam perjalanan sejarah hidupnya, dengan penuh pengorbanan dirinya berjuang demi kemerdekaan bangsa dan rakyat Indoneia.

Begitu pula dengan pengalaman pahit pada paska kemerdekaan Republik Indonesia, peringatan 45 tahun peristiwa sejarah berdarah 1965/1966 telah diambang pintu. Ratusan ribu umat manusia, mengalami kematian massal, yang sampai saát ini tidak bisa dibuktikan secara data fakta tentang siapa menjadi korban kemanusiaan maupun siapa sebagai dalang pelaku pembunuhan. Kapan Pemerintah Negara Republik Indonesia mengakui peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965/ 1966 sebagai Kebenaran Sejarah Pembunuhan massal.

MiRa - Amsterdam, 19 September 2010

Friday, September 17, 2010

[Tanka] Musim gugur


Hujan dan badai
Musim gugur menanti
Proses alami?
Daun berganti warna
Hijau menjadi merah

MiRa - Amsterdam,16 September 2010

Pohon daun merah menyambut musim gugur di Vondelpark - Amsterdam, 16 September 2010

Monday, September 13, 2010

[Haiku] Kamar Beton

Bumi berputar
Pembakaran Ingatan
Tanpa berakhir

Darah menetes
Setiap kamar beton
Gelap dan dingin

Cahaya lilin
Di langit musim gugur
Mencari bulan

Dalam catatan
Menuntut kebenaran
Bicara adil

Jengah menanti
Pada usia senja
Berdukacita

MiRa - Amsterdam, 13 September 2010

Saturday, September 4, 2010

[Haibun] Kenangan Musim Gugur

Bulan separuh
Indah dikegelapan
Menghias langit

Cahaya remang
Dari tirai jendela
Mengusik malam

Teringat wajah
Dalam rangkuman foto
Suka dan duka

Ada rekaman ingatan abad lalu, peluh riuh mencekam malam, diterjemahkan begitu banyak kesan pahit dan manisnya kehidupan. Peristiwa kumpulan cerita gambar-gambar foto lama itu, belum pula dikukuhkan susunan urutan kejadiannya, yang mengisyaratkan kesaksian dan data fakta pada cabang-cabang kenangan kelabu, dalam duka kesedihan, merambah luka nanah di sepanjang sungai wilayah pegunungan nusantara.

Air mengalir
Jernih berubah keruh
Kerana ranah

Kenangan peristiwa mendalur ulang tragedi kemanusiaan , menyertai hadirnya kembali sosok-sosok ikon tanpa wajah dari sisi tempat lain, menapak jalan dengan memproyeksikan pengalaman masa lalu menuju ke masa depan, dalam jejak langkah arah yang tak bisa ditentukan.

Satu masa terlewati,
dari rasio tak terhitung,
pada lembaran halaman kematian,
nama terdaftar di atas meja hijau,
diserahkan ke tangan bersarung tangan.
Neraka diciptakan untuk kegagalan mahligai,
Kehidupan sosial abad ini dalam kemiskinan batin.

Bayangan diri
Di muka cermin kaca
Gema rintihan

Peristiwa misteri
Kenangan musim gugur

Lupa ingatan yang telah terjadi pada peristiwa itu,
kini makna hidup terbakar, kenangan lama dimusnahkan,
mungkin ingatan dihilangkan demi gairah memburu materi,
ketidakberdayaan dirintis tanpa memiliki nilai harga diri,
sampai saat ini tanah Ibu Pertiwi dipersembahkan pada orang asing,
dengan melalui lintasan korupsi, kolusi dan nepotisme,
mendekap daratan sumber daya kekayaan alam,
yang menebar jera sumber daya manusia,
eksistensi menjadi tahanan dirinya di tanah air sendiri,
orang tua dan anaknya menggantung diri di rumah kumuh,
perempuan yang belum menikah mereka siksa dan perkosa,
kebahagiaan dan kegembiraan menjadi kering dalam hati nurani,
senyuman dan tawa riang terbang melayang, terbawa angin badai,
di sepanjang rel kereta api, dan sepanjang jalan-jalan tak berujung,
telah membahayakan sumber kehidupan insani, walau untuk sesuap nasi.

Ada sesuatu dalam jiwa yang pernah meronta,
tak jera menuntut janji demi kemerdekaan diri,
rangkaian ingatan yang tertulis pena di garis tipis,
menjadi seperti samar-samar, tanpa substansi.

Dikala tinta emas terukir di atas kertas putih,
bangga dan murni merintis hidup sejahtera rakyat,
dari mereka yang tahu tentang makna berjuang.
keadilan untuk kemakmuran warga negara bangsa,
kehidupannya di isi dengan semangat jiwa api bara,
membawa tongkat estafet kebebasan nasional.


MiRa - Amsterdam, 3 September 2010