Saturday, September 4, 2010

[Haibun] Kenangan Musim Gugur

Bulan separuh
Indah dikegelapan
Menghias langit

Cahaya remang
Dari tirai jendela
Mengusik malam

Teringat wajah
Dalam rangkuman foto
Suka dan duka

Ada rekaman ingatan abad lalu, peluh riuh mencekam malam, diterjemahkan begitu banyak kesan pahit dan manisnya kehidupan. Peristiwa kumpulan cerita gambar-gambar foto lama itu, belum pula dikukuhkan susunan urutan kejadiannya, yang mengisyaratkan kesaksian dan data fakta pada cabang-cabang kenangan kelabu, dalam duka kesedihan, merambah luka nanah di sepanjang sungai wilayah pegunungan nusantara.

Air mengalir
Jernih berubah keruh
Kerana ranah

Kenangan peristiwa mendalur ulang tragedi kemanusiaan , menyertai hadirnya kembali sosok-sosok ikon tanpa wajah dari sisi tempat lain, menapak jalan dengan memproyeksikan pengalaman masa lalu menuju ke masa depan, dalam jejak langkah arah yang tak bisa ditentukan.

Satu masa terlewati,
dari rasio tak terhitung,
pada lembaran halaman kematian,
nama terdaftar di atas meja hijau,
diserahkan ke tangan bersarung tangan.
Neraka diciptakan untuk kegagalan mahligai,
Kehidupan sosial abad ini dalam kemiskinan batin.

Bayangan diri
Di muka cermin kaca
Gema rintihan

Peristiwa misteri
Kenangan musim gugur

Lupa ingatan yang telah terjadi pada peristiwa itu,
kini makna hidup terbakar, kenangan lama dimusnahkan,
mungkin ingatan dihilangkan demi gairah memburu materi,
ketidakberdayaan dirintis tanpa memiliki nilai harga diri,
sampai saat ini tanah Ibu Pertiwi dipersembahkan pada orang asing,
dengan melalui lintasan korupsi, kolusi dan nepotisme,
mendekap daratan sumber daya kekayaan alam,
yang menebar jera sumber daya manusia,
eksistensi menjadi tahanan dirinya di tanah air sendiri,
orang tua dan anaknya menggantung diri di rumah kumuh,
perempuan yang belum menikah mereka siksa dan perkosa,
kebahagiaan dan kegembiraan menjadi kering dalam hati nurani,
senyuman dan tawa riang terbang melayang, terbawa angin badai,
di sepanjang rel kereta api, dan sepanjang jalan-jalan tak berujung,
telah membahayakan sumber kehidupan insani, walau untuk sesuap nasi.

Ada sesuatu dalam jiwa yang pernah meronta,
tak jera menuntut janji demi kemerdekaan diri,
rangkaian ingatan yang tertulis pena di garis tipis,
menjadi seperti samar-samar, tanpa substansi.

Dikala tinta emas terukir di atas kertas putih,
bangga dan murni merintis hidup sejahtera rakyat,
dari mereka yang tahu tentang makna berjuang.
keadilan untuk kemakmuran warga negara bangsa,
kehidupannya di isi dengan semangat jiwa api bara,
membawa tongkat estafet kebebasan nasional.


MiRa - Amsterdam, 3 September 2010

No comments:

Post a Comment