Tuesday, September 11, 2012

Pemilih Kiri di Belanda bersikap lebih sosial daripada pemilih sayap kanan


Foto: poster GOLPUT - Amsterdam, 10 September 2012

Dalam rangka pemilu parlemen di Belanda tgl 12 September besok,  seorang ekonom dari Universitas Mastrich, bernama Dr. Paul Smith, meneliti perilaku pemberi suara pemilu, dan menyimpulkan bahwa pemilih golongan "kiri" berprilaku lebih sosial dari pada para pemilih partai sayap kanan.

Penelitian Dr. paul Smith itu mengarah pada pilihan politik partai di pemilu tahun 2010, dengan mengukur skala preferensi pandangan politik mereka. Menurut beliau sebelumnya belom pernah ada penelitian dari ilmuwan Belanda, yang memiliki interes untuk menguji hubungan antara orientasi politik dan perilaku sosial pemberi suara pemilu.  Ia mengambil dataset peserta dalam kumpulan kategori sebanyak 3000 investor swasta.

Dari hasil pendekatan penelitian terhadap 3000 peserta itu, pemilih partai kristen reformis SGP memiliki pandangan politik paling kanan, kemudian urutan selanjutnya sebagai orang kanan adalah partai liberal, VVD dan PVV -  Wilder. Partai buruh (PvdA) dan Partai hijau (Groen Links) menilai dirinya berpandangan paling "Kiri", sedang pemilih partai sosialis menyebut dirinya sbg orang "kiri". Singkat kata, ada 32, 5 % dari 3000 peserta menyebut dirinya sebagai "Orang Kiri" dan 67,5% beraliran "kanan".

Menurut Smith, hasil penelitian di Amerika menunjukkan pemilih Partai Republik lebih cenderung berperilaku berburu harta demi kepentingan pribadinya dibanding pemilih partai demokrat.  Untuk menilai perilaku sosial yang cukup obyektif di Belanda, Dr. Smith menggunakan indikator sebagai berikut: berapa banyak orang yang beramal? Ada dua kategori bagi orang yang mendaftar sebagai donatur , yaitu terdaftar sebagai donor organ dan yang menjadi sukarelawan. Hasilnya menunjukkan bahwa 22 persen pemilih partai hijau memilih investasi di sektor ekosistem, sedangkan pemilih partai Liberal VVD hanya 9 persen. Dalam daftar angket penelitian, jumlah pemilih partai "kiri"  56 persen sebagai donor organ, dan pemilih sayap kanan 45 persen.
 


 Sumber: http://www.blikopnieuws.nl/bericht/149354/Linkse_kiezers_gedragen_zich_socialer_dan_rechtse_kiezers.html

MiRa - Amsterdam, 11 September 2012

Monday, September 10, 2012

[Haiku] Jagal


Pelaku jagal
Bangga membunuh orang
 
Kebiadaban

MiRa - Amsterdam, 9 September 2012

***


A still from the current event

Jagal (bahasa Inggris: ''The Act of Killing'')
adalah film karya sutradara Joshua Oppenheimer.

Jagal

Sutradara     Joshua Oppenheimer
Produser     Signe Byrge Sørensen
Musik     Elin Øyen Vister
Sinematografi     Carlos Arango de Montis ADFC, Lars Skree
Editing     Niels Pagh Andersen, Janus Billeskov Jansen, Mariko Montpetit, Charlotte Munch Bengtsen, Ariadna Fatjó-Vilas Mestre
Distribusi     Cinephil
Durasi     149 min. (director's cut)/115 min
Negara     Norwegia, Denmark, Inggris Raya
Bahasa     Indonesia

Sinopsis

Ketika pemerintah Indonesia digulingkan oleh militer pada 1965, Anwar dan kawan-kawan 'naik pangkat' dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Mereka membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.

Hari ini, Anwar dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.

Jagal bercerita tentang para pembunuh yang menang, dan wajah masyarakat yang dibentuk oleh mereka. Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP. Jagal adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.

Pada masa mudanya, Anwar dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius. Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.” Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.

Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.

Kemudian sutradara film menantang Anwar dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.

Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.

Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.
Produksi

Film ini sebagian besar gambarnya diambil di sekitar Medan, Sumatera Utara, Indonesia antara 2005 sampai 2011. Pengambilan gambar dan wawancara selama tujuh tahun ini menghasilkan kurang lebih 1.000 jam rekaman. Diperlukan banyak editor dan waktu satu setengah tahun di London dan Copenhagen untuk menyunting rekaman tersebut menjadi film ini. Penyuntingan suara dan koreksi warna dilakukan di Norwegia.
Pranala Luar.


source: http://id.wikipedia.org/wiki/Jagal
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/Information about Coup d'etat '65click: http://www.progind.net/  
List of books, click:  http://sastrapembebasan.wordpress.com/

[Haiku] outrage


slaughterhouse
proud for killing people
appalling

MiRa - Amsterdam, 9 September 2012

A still from the current event

The Act of Killing

Joshua Oppenheimer, Christine Cynn, Anonymous

In this chilling and inventive documentary, executive produced by Errol Morris and Werner Herzog, the unrepentant former members of Indonesian death squads are challenged to re-enact some of their many murders in the style of the American movies they love.

Programmer's Note

"I have not come across a documentary as powerful, surreal, and frightening in a decade," wrote Werner Herzog after seeing an early preview of The Act of Killing, and both he and Errol Morris were impressed enough to sign on as executive producers. A chilling and revelatory exploration of the sometimes perilously thin line between film violence and real-life violence, the film investigates a murderous, oft-forgotten chapter of history in a way that is startlingly original and bound to stir debate: enlisting a group of former killers to re-enact their lives (and deaths) in the style of the film noirs, musicals and westerns that they love.

The Act of Killing's subjects are the Indonesian paramilitary leader Anwar Congo and his band of dedicated followers. In the 1960s, Anwar was a small-time gangster who sold movie tickets on the black market and found an idealized self-image in the gunslinging heroes on the screen. Coming out of the midnight show, he and his friends felt "just like gangsters who had stepped off the screen," and were enraged by the communists who boycotted American films — the most popular and profitable. When the government of President Sukarno was overthrown by the military in 1965, Anwar and his cohorts joined in the mass murder of more than one million alleged communists, ethnic Chinese and intellectuals. Anwar and his friends take pride in their past and are eager to recreate it in the form of movie scenes with elaborate sets, costumes, pyrotechnics and extras enlisted to play victims. But as movie violence and real-life violence intertwine, Anwar's boastfulness gradually gives way to expressions of unease and regret.

Unlike other nations where the perpetrators of genocide have been brought to justice or disgraced, in Indonesia the killers stayed in power, wrote their own triumphant history, and became role models for millions of young paramilitaries to this day. Co-director Joshua Oppenheimer has spent over a decade working with death squads and their victims, which comes through in his knowledge of and passionate investment in this subject. This is a film people will be talking about for years to come.

Thom Powers

Director Biographies

  •  
    Joshua Oppenheimer was born in Austin, Texas. He has directed the documentaries The Entire History of the Louisiana Purchase (98) and, with Christine Cynn, The Globalisation Tapes (03) and The Act of Killing (12).
  •  
    Christine Cynn studied social anthropology at Harvard. She has collaborated with Joshua Oppenheimer on the feature documentaries The Globalisation Tapes (03) and The Act of Killing (12).
    source: http://tiff.net/filmsandschedules/tiff/2012/actofkilling