Sunday, September 19, 2010

[Esai] Jendral Kejam dari Belanda




Pada hari Sabtu nan cerah mentari seakan tak enggan memancarkan sinarnya, saát itu kusempatkan waktu bersepeda melewati daerah Amsterdam Oud Zuid, untuk menuju Vondelpark. Kali ini aku bersepeda menelusuri Apollolaan arah Olympiaplein, yang kemudian melintasi jalan pintas ke  gedung sekolah Lyseum.

Bersepeda di rute jalan Apollolaan terasa lebih adem karena pada sisi kiri-kanan jalan ditumbuhi tanaman pohon-pohon besar dan berdaun rindang . Bila melalui jalan tersebut terkesan gelap dan kusam tapi nyaman rasanya terlindung dari sengatan teriknya matahari di musim panas. Disepanjang jalan Apollolaan itu pula berjejer bangunan rumah mewah model villa dari peninggalan zaman keemasan kolonial Belanda.

Sesampainya aku di sekitar Olympiaplein, tiba-tiba aku dikejutkan oleh semacam bentuk pandangan lain dari biasanya yang tak pernah kutemui sebelumnya. Persis di depan gedung sekolah Lyseum, terlihat ada sebuah patung tinggi semampai sosok wanita Belanda, seperti memakai gaun kebaya Jawa, tercermin ekspresi bangga di raut wajahnya dengan “peran Legislatif” di tangannya. Menurut keterangan seseorang bersama anjingnya, yang kebetulan sedang berada di tempat lokasi yang sama, mengatakan bahwa patung itu disimbolkan sebagai personifikasi kekuasaan pemerintahan Belanda di zaman penjajahan Hindia Belanda.

Patung wanita jangkung setinggi hampir empat setengah meter itu, berdiri pada alas yang disamping kiri dan kanannya terukir gambar yang katanya melambangkan Amsterdam dan Batavia. Ke dua kakinya dengan diapit oleh dua singa, oleh kalangan rakyat yang menghujat pendirian Monumen tersebut sampai saát ini, menyebutnya “Perawan Belanda dengan Anjingnya”.

Dinding dan dasar kolam juga merupakan bagian dari monumen. Di depan patung perempuan jangkung itu ada kolam air besar, yang di simbolkan sebagai pemisahan antara Indonesia dan Belanda. Lokasi monumen seluas 18, 5 meter itu dilatarbelakangi oleh dua dinding yang mengapit patung perempuan itu, dihiasi dengan gambar-gambar plakat ukiran yang menunjukkan lambang kepulauan Indonesia.

Maka, barulah kuketahui serta kumengerti makna dari monumen itu, yang kuanggap penuh dengan peristiwa misteri, dan kurasakan seketika menjadi merinding, tercermin seperti suasana lengang dan hening karena serasa begitu mencekam dan berduka buatku hadir di sekitar monumen tersebut.

Di tempat inilah rupanya yang disebut monumen van Heutsz, Yang menurut cerita sejarahnya sejak tahun 1930, katanya, menjadi bangunan kontroversia. Bahkan selama bertahun-tahun telah sering pula menjadi sasaran tempat protes aksi, bagi penentang dan menghujat peranan sosok komandan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL, Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger) wilayah Aceh, yang dikenal kejam selama periode perang kolonial.

KONTROVESIAL

J.B. van Heutsz (1851 - 1924), dikenal oleh rakyat Belanda sebagai sosok komandan militer. Pada tahun 1873, di usia 22 tahun ia di kirim oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk tujuan penyerangan operasi militer, yang secara kekerasan dengan melakukan pembunuhan massal di Aceh dan sekitar Sumatra Timur.

Dengan kematian Van Heutsz di Swiss tahun 1924, lalu para pengagumnya mengumpulkan dana dalam jumlah besar, selain untuk biaya pemakaman, juga akan dibangun sebuah monumen peringatan van Heutsz di tempat lain tapi di kota yang sama, Amsterdam. Pada tahun 1930 monumen tersebut dibangun dengan mendapat ijin dari pemda Amsterdam, akan tetapi pelaksanaan proyek monumen sudah menimbulkan reaksi pro dan kontra.

Ada pendapat umum menyebutnya tidak pantas untuk dibangun Monumen Peringatan Van Heutsz yang seharusnya bertanggung jawab atas sekitar 70.000 kematian penduduk di Aceh. Bahkan, proses pembangunannya sempat mengalami penundaan waktu sampai 5 tahun, ini disebabkan antara lain oleh aksi pemogokan pekerja yang bekerja pada proyek pembangunan Monumen tersebut.

Ada pula pendapat lain dari yang pro pembangunan monumen tersebut, dengan ditampilkan sebuah plakat, yang pernyataannya dilihat dari gagasan kontemporer tentang masa kolonial. Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah nama monumen. Tujuan ini dinyatakan dapat dilakukan, misalnya, harus menyatakan kelahiran dan kematian Jenderal Van Heutsz dan tindakannya di atas prasasti.

Pematung “Perempuan Jangkung” Frits van Hall (1899-1945), yang pula dikenal seorang Komunis dan pejuang Belanda dimasa pendudukan rejim Fasisme-Hitler, juga dianggap sebagai sosok peran yang menimbulkan reaksi pro dan kontra.

Ia sebagai pemenang bersama arsitek Gijsbert Friedhoff dalam kontes perancang pembuatan monumen van Heutsz, itupun oleh sebagian besar kawan-kawan alumni seperjuangannya zaman pendudukan rejim Fasis-Hitler, dianggap aneh atas keikutsertaan van Hall dalam pembuatan monumen van Heutsz di awal tahun 1930.

Di balik itu semua, keikutsertaan sang pematung van Hall dalam merancang monumen van Heutsz, ternyata dilatar belakangi oleh pengaruh sejarah kehidupan van Hall pribadi yang lahir di Yogyakarta, dan sejak masa kecil sampai usia 10 tahun bermukim di Hindia Belanda. Namun apakah alasan latar belakang sejarah hidup pribadinya bisa meyakinkan keraguan penilaian kawan2 seperjuangannya itu, biarpun ia pernah mengatakan pada koleganya bernama Jan Meefout bahwa plakat ukiran nama “J.B. van Heutsz” di mendatang bisa dihapus, lalu diganti dengan kata-kata “Pembebasan”, atau “Indonesia Merdeka”, sehingga gambar van Heutsz akan memiliki makna pengertian “Pembebasan”.

Tahun 1984 plakat berukir nama “J.B. van Heutsz” tersebut dicuri, dan kemudian ditemukan kembali tanpa ada huruf-huruf nama van Heutsz. Pada tahun yang sama ada pula serangan bom di monumen tersebut, kali ini dilakukan oleh kelompok Koetoh Reh (Nama sebuah kamp ketika tahun 1904 hukuman pidana Belanda dibantai).
Sebelumnya, Pada tanggal 10 Maret 1967 patung singa di sisi kanan rusak akibat serangan bom, yang dilakukan oleh club’s pasifis dari Pemuda Sosialis. Aksi serangan tesebut dimaksudkan untuk menggagalkan pernikahan Putri Beatrix dan Claus von Amsberg.

Buat bangsa kita yang sejak tahun 1945 telah memproklamasikan Merdeka dari Penjajahan Belanda, tak mungkin bisa melupakan catatan riwayat sejarah berdarah peristiwa kejahatan kemanusiaan, yang di pimpin oleh Letnan Jenderal sebagai komandan militer KNIL, bernama J.B. van Heutsz.

Dan, masih banyak lagi peristiwa berdarah lainnya yang tak mungkin bisa disebutkan kejadiannya semasa usia 350 tahun penjajahan Belanda. Ini merupakan pengalaman terpahit bagi saudara setanah air, bagi yang mengalaminya dalam perjalanan sejarah hidupnya, dengan penuh pengorbanan dirinya berjuang demi kemerdekaan bangsa dan rakyat Indoneia.

Begitu pula dengan pengalaman pahit pada paska kemerdekaan Republik Indonesia, peringatan 45 tahun peristiwa sejarah berdarah 1965/1966 telah diambang pintu. Ratusan ribu umat manusia, mengalami kematian massal, yang sampai saát ini tidak bisa dibuktikan secara data fakta tentang siapa menjadi korban kemanusiaan maupun siapa sebagai dalang pelaku pembunuhan. Kapan Pemerintah Negara Republik Indonesia mengakui peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965/ 1966 sebagai Kebenaran Sejarah Pembunuhan massal.

MiRa - Amsterdam, 19 September 2010

No comments:

Post a Comment